Kopi, teh adalah minuman favoritku. Sampai saat aku di bangku SMA aku merasa sering lupa. Kelupaan yang aku alami menurutku lumayan mengerikan, karena apapun yang baru saja aku dengar bisa lupa setelah 5 menit kemudian. Kemudian pada saat aku memeriksakan penyakit ashmaku, aku berkonsultasi kepada dokter tentang penyakit lupaku itu. Dokter mengatakan, aku harus mengurangi minum kopi, karena kafein membuat seseorang menjadi pelupa. Ya, memang dalam sehari aku bisa minum 3 gelas kopi hitam. Setelah diberi saran dokter seperti itu, aku langsung mengurangi mengkonsumsi kopi hingga saat ini.
Apakah aku sekarang sudah tidak sepelupa dulu?
Jawabannya, tidak.
aku merasa tetap. Sama saja. Aku tetaplah pelupa, aku hanya mengingat hal-hal yang yang berkesan dan yang berhubungan dengan emosi jiwaku, selain itu jarang aku ingat.
Kemudian ada seseorang yang menyadarkanku dan menjawab pertanyaanku mengapa aku begitu pelupa..
Yang jelas bukan karena kafein.
Saat itu kami sedang berbincang-bincang mengenai janji seorang temanku yang akan datang ke rumahku. Saya tidak ingat kalau teman saya itu sudah berjanji seperti itu. "Loh kok lali, ah kamu itu berarti orangnya cuek gak peka gak peduli." Kata teman kuliahku itu sambil tertawa kecil.
Sontak saat itu juga, hatiku seperti digetarkan sangat dahsyat. Aku hanya diam.
Malamnya aku merenungkan perkataan temanku itu.
Kalau kamu juga mengalami hal yang sama sepertiku, yaitu mengidap penyakit "lupa" coba renungkan kata-kata temanku itu.
Aku akui hatiku memang sudah beku. Biar kuperjelas, s u d a h b e k u.
Sudah 4 tahun ini, aku harus melihat perkelahian antara orang tuaku. Aku bilang perkelahian, bukan adu mulut. Yang berujung pada perpisahan. Mereka tidak bercerai, karena kami keluarga Katolik yang tidak mengenal perceraian. Mereka beda tempat tinggal dan aku ikut ibuku dengan adikku.
Selama 4 tahun hatiku, kepercayaanku seperti menjadi perebjtan antara orang tuaku. Aku tidak pernah tahu ucapan mana yang benar. Siapa yang dapat dipercaya. Tidak ada orang yang mau membantu permasalahan ini bahkan saudarapun hanya memperumit lalu tidak mau tahu. Hanya satu orang yang membantuku yaitu seorang imam di gerejaku yang akhirnya satu tahun kemudian beliau sudah habis kata dan upaya, sehingga melepaskan permasalahan keluargaku ini.
Dan pada akhirnya aku MUAK.
Aku tidak tahu arah dan tujuan hidupku. Aku sakit hati.
Aku memaksa hatiku untuk kuat dan bahagia diluar sana.
Tapi sekuat apapun aku memaksa dan berusaha ternyata bisa terlihat bekas sakit hatiku
Keacuhan, ketidak pedulianku adalah wujud sakit hatiku sampai saat ini.
Aku hanya hidup dengan pikiran dan ambisiku sendiri dengan handphone dan internet.
Jangan sampai ada yang menyakitiku lagi, merubah pikiran dan ambisiku, ataupun mengganggu kebahagiaanku. Tapi aku berharap ada seseorang yang mampu menyentuh hatiku.
Apakah aku sekarang sudah tidak sepelupa dulu?
Jawabannya, tidak.
aku merasa tetap. Sama saja. Aku tetaplah pelupa, aku hanya mengingat hal-hal yang yang berkesan dan yang berhubungan dengan emosi jiwaku, selain itu jarang aku ingat.
Kemudian ada seseorang yang menyadarkanku dan menjawab pertanyaanku mengapa aku begitu pelupa..
Yang jelas bukan karena kafein.
Saat itu kami sedang berbincang-bincang mengenai janji seorang temanku yang akan datang ke rumahku. Saya tidak ingat kalau teman saya itu sudah berjanji seperti itu. "Loh kok lali, ah kamu itu berarti orangnya cuek gak peka gak peduli." Kata teman kuliahku itu sambil tertawa kecil.
Sontak saat itu juga, hatiku seperti digetarkan sangat dahsyat. Aku hanya diam.
Malamnya aku merenungkan perkataan temanku itu.
Kalau kamu juga mengalami hal yang sama sepertiku, yaitu mengidap penyakit "lupa" coba renungkan kata-kata temanku itu.
Aku akui hatiku memang sudah beku. Biar kuperjelas, s u d a h b e k u.
Sudah 4 tahun ini, aku harus melihat perkelahian antara orang tuaku. Aku bilang perkelahian, bukan adu mulut. Yang berujung pada perpisahan. Mereka tidak bercerai, karena kami keluarga Katolik yang tidak mengenal perceraian. Mereka beda tempat tinggal dan aku ikut ibuku dengan adikku.
Selama 4 tahun hatiku, kepercayaanku seperti menjadi perebjtan antara orang tuaku. Aku tidak pernah tahu ucapan mana yang benar. Siapa yang dapat dipercaya. Tidak ada orang yang mau membantu permasalahan ini bahkan saudarapun hanya memperumit lalu tidak mau tahu. Hanya satu orang yang membantuku yaitu seorang imam di gerejaku yang akhirnya satu tahun kemudian beliau sudah habis kata dan upaya, sehingga melepaskan permasalahan keluargaku ini.
Dan pada akhirnya aku MUAK.
Aku tidak tahu arah dan tujuan hidupku. Aku sakit hati.
Aku memaksa hatiku untuk kuat dan bahagia diluar sana.
Tapi sekuat apapun aku memaksa dan berusaha ternyata bisa terlihat bekas sakit hatiku
Keacuhan, ketidak pedulianku adalah wujud sakit hatiku sampai saat ini.
Aku hanya hidup dengan pikiran dan ambisiku sendiri dengan handphone dan internet.
Jangan sampai ada yang menyakitiku lagi, merubah pikiran dan ambisiku, ataupun mengganggu kebahagiaanku. Tapi aku berharap ada seseorang yang mampu menyentuh hatiku.
Komentar
Posting Komentar